Polutan kabut asap merupakan salah satu dampak kebakaran hutan dan lahan yang berbahaya yang dapat terbawa angin dan menyebabkan Pencemaran Asap Lintas-Batas (transboundary haze pollution) dan menghasilkan zat-zat pencemar udara yang berbahaya. Kebakaran hutan dan lahan di Sumatra dan Kalimantan terutama di lahan gambut pada tahun 2015 adalah peristiwa terburuk setelah kebakaran pada tahun 1991, 1994, dan 1997. Efek negatif dari kebakaran lahan gambut dapat diminimalkan dengan memahami dan menganalisis pergerakan kabut asap dan konsentrasi polutan yang dihasilkan. Dengan menggunakan pendekatan spatio temporal, konsentrasi polutan akibat kebakaran lahan gambut dapat dianalisis dan dapat menentukan pola titik panas (hot spot) sebagai indicator kebakaran hutan menggunkan pencitraan satelit untuk klasifikasi daerah terbakar (LULC).
Keluaran berupa lintasan kabut asap dan informasi konsentrasi zat-zat pencemar udara (CO dan CO2) dihasilkan dari model spasial dan temporal yang dikembangkan menggunakan HYSPLIT dan data Iklim global. Selain itu, data hot spot pencitraan satelit diambil dari MODIS dan VIIRS menggunakan API dari pusteksat LAPAN. Model Klaster juga dikembangkan untuk pengelompokkan zat-zat pencemar udara menggunakan algoritme-algoritme machine learning/data mining. Visualisasi lintasan kabut asap dan hasil pengelompokan konsentrasi zat-zat pencemar udara yang merupakan keluaran dari model tersebut ditampilkan pada sebuah sistem informasi berbasis web agar dapat tersedia secara online dan real time.
Selain itu, kegiatan ini juga mencakup kegiatan summer course MAPFire 2019 dengan tema monitoring dampak karhutla yang dilaksanakan pada bulan Oktober 2019. Pada kegiatan MAPFire 2019 juga terdapat international workshop (4-5 Maret 2020) yang melibatkan kerja sama institusi pendidikan dari luar negeri University of leeds, UPM) dan instansi terkait (LAPAN, BMKG, BRG, dan KLHK) dengan tema monitoring dampak Karhutla di kawasan ASEAN.
